Fanatisme Bonek
>> Sabtu, 25 September 2010
Sungguh murah harga nyawa di republik ini. Satu lagi bonek–pendukung Persebaya–meninggal selepas menyaksikan big match Persib vs Persebaya di Stadion Si Jalak Harupat, Soreang, Bandung. Ia jatuh dari kereta api yang mengantarnya pulang ke Surabaya. Ini kejadian kedua. Jelang duel klasik dua klub yang memiliki pendukung fanatis itu, A. Fathoni (21) jatuh dari atap kereta di Nganjuk dan meninggal. Yayasan Suporter Surabaya bahkan menyebut korban tewas menjelang dan selepas pertandingan yang berkesudahan [4-2] untuk Persib itu mencapai tiga orang. Satu orang bahkan belum dikenali identitasnya. Korban luka berbilang.
Bonek–bondo nekat–tewas bukan yang pertama. Sudah berkali-kali.  Selain jiwa, kerugian material berderet panjang. Sebutlah kerugian  panitia pelaksana pertandingan yang harus kehilangan pemasukan sebesar  Rp105 juta lantaran harus menggratiskan 7.000 tiket kepada para bonek  yang berjubel, Sabtu pekan lalu. PT Kereta Api Daerah Operasi II–yang  mengantar pulang pendukung Bajul Ijo–mengaku menangguk rugi Rp1 miliar.  Ini belum kerugian lain yang tak terhitung akibat ulah bonek sepanjang  jarak Bandung-Surabaya. Inilah potret sepak bola ini, kalau bukan gambar  buram bangsa Indonesia. Fanatisme ugal-ugalan–kata ini saya pinjam dari  ekonom Rizal Ramli–yang tak hanya membahayakan diri sendiri, juga  komunitas tempat sang subyek berdiam serta masyarakat luas.
Kata fanatisme saya gandengkan dengan kata ugal-ugalan bukan tanpa  maksud. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, 2000),  fanatisme diartikan sebagai keyakinan (kepercayaan) yang terlalu kuat  terhadap ajaran (politik, agama, dst). Subyek yang terjebak fanatisme  mengekspresikan keyakinan atau kegemarannya atas sesuatu secara  berlebihan–kadang membabi buta–sehingga berakibat kuarang baik, bahkan  menimbulkan perseteruan dan konflik serius. Penganut agama yang fanatis  misalnya kerap masuk perangkap absolutisme–tak menyisakan kebenaran bagi  pihak lain. Fanatisme yang kelewat batas sering kali mengantarkan  subyek menjadi fundamentalis.
Tentu saja ada pula energi positif yang bisa diraih dari berpikir dan  bertindak fanatis. Subyek dapat menenggak kesenangan saat jadi fanatis.  Misalnya, penggemar fanatik grup Slank rela membentuk komunitas,  lengkap dengan pengurus dan benderanya setiap distrik, meski tanpa  bayaran. Subyek melebur dalam komunitas, menerbitkan jejaring sosial dan  ekonomi dan akhirnya membentuknya menjadi manusia utuh. Bagi Slank,  fansnya yang fanatis adalah berkah melimpah yang mempertebal  keyakinannya terus berkarya dan dengan begitu mengisi pundi-pundi grup  band tersebut.
Dengan optik sama, Bonek sebetulnya aset bagi Persebaya–sebagaimana  juga Viking (Persib), Jakmania (Persija) atau Aremania (Arema). Dari  sisi itu eksistensi Bonek layak disyukuri–bukan hanya bagi bagi klub  asal Surabaya itu, melainkan bagi eksistensi sepak bola Indonesia yang  sekian tahun ini kering prestasi. Bisa dibayangkan pertandingan Liga  Indonesia tanpa penonton yang berjubel. Mungkin tetap pertandingan sepak  bola, tapi tanpa jiwa karena tak melibatkan publik sebagai penikmat  olahraga tersebut.
Yang jadi soal, justru ketika fanatisme itu tidak terkelola. Yayasan  Suporter Surabaya menyatakan Bonek yang berulah itu kerap kali bukan  bagian dari perkumpulannya. Artinya mereka kumpulan individu (subyek)  yang anonim, tak diwadahi dalam perkumpulan suporter. Berbekal uang  pas-pasan, mereka bergabung dengan sesamanya dan lalu melebur menjadi  kumpulan individu dalam jumlah massal. Ini yang terjadi ketika puluhan  ribu Bonek ngluruk ke Bandung untuk mendukung tim kesayangannya  bertanding. Alhasil, Bonek tanpa perkumpulan itu berulah di jalanan:  mulai dari merampas makanan para pedagang hingga naik kereta api tanpa  bekal tiket. Kisah pilu terjadi pada salah seorang yang tewas setelah  jatuh dari atap kereta api. Bermodal Rp75 ribu, ia nekat ke Bandung  bergabung dengan kawan-kawannya. Nahas, ia terpelanting dan jatuh dari  kereta sehingga nyawa tak tertolong.
Inilah ironi subyek. Adalah maklum dalam kerumunan, subyek bisa  terlempar jadi manusia anonim–tanpa identitas. Subyek itu melebur dalam  kerumunan, sehingga tanpa sadar melakukan hal sama yang dilakukan  subyek-subyek lain dalam kerumunan itu. Seorang diri manusia pastilah  takut naik atap kereta api, apalagi jika harus menempuh ratusan  kilometer Surabaya-Bandung. Namun, bersama individu lain dalam  kerumunan, rasa takut itu akan lenyap. Subyek akan kehilangan rasa  takut, ia tak peduli pada risiko. Sebaliknya dalam kerumunan, subyek  bermetamorfosis jadi diri yang lain.
Itulah yang saya lihat mana kala menyaksikan Jakmania berjubel naik  Metromini. Jika seluruh kursi dan ruang penumpang penuh, maka para  Jakmania itu pun duduk di atap Metromini. Di jalanan menuju Lebak Bulus  atau Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, mereka berjingkrak dan  bernyanyi. Memang terselip masalah laten ekonomi di balik ekspresi  kumpulan individu yang kini tak lagi memiliki rasa takut itu. Tapi jika  saja rasionalitas masih bertahta pada kumpulan individu itu, ia akan  berhitung dengan risiko.
Sungguh pun begitu. Marilah belajar dari masa silam. Saya masih  ingat. Saat itu musim kompetisi perserikatan 1986/1987. Saya tinggal nun  jauh dari Surabaya–kira-kira sejarak 200-an kilometer. Di Jember,  mobilisasi yang dilakukan Jawa Pos [koran lokal paling  berpengaruh di Surabaya dan Jawa Timur] untuk memompa semangat warga  Jatim mendukung Persebaya yang lolos ke peringkat 6 Besar terasa sekali.  Koran yang dibesarkan Dahlan Iskan ini menjadi semacam penyelenggara  perjalanan bagi warga Jatim yang hendak menyaksikan Persebaya bertanding  di Jakarta. Alhasil puluhan ribu warga Surabaya dan sejumlah kota ikut  serta. Persebaya masuk final, tapi dibenamkan PSIS sehingga gagal  membawa gelar juara ke Kota Pahlawan.
Pada musim berikutnya, Jawa Pos, tetap melakukan hal tersebut.  Persebaya yang kala itu di bawah manajer M. Barmen, kini tak memberikan  ampun pada PSIS untuk lolos ke 6 Besar di Senayan. Lewat sandiwara sepak  bola gajah, Persebaya mengandaskan PSIS setelah secara suka  reladihujani 12 gol oleh Persipura. Persebaya pun terbang tinggi. Mereka  menjemput gelar setelah membungkam tuan rumah Persija [3-1]. Mustaqim  Cs meraih gelar itu berkat suntikan moril para pendukung fanatiknya,  bukan bonek yang ugal-ugalan.
Jikalau kita sepakat “tak ada yang setara dengan nyawa”, maka mulai  sekarang seluruh pihak harus mampu mengelola fanatisme itu biar tak  menerbitkan anarki di jalanan. Bersama kita bisa!







0 komentar:
Posting Komentar